MAKALAH
MADZHAB IMAM SYAFI’I
(makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqh)
Dosen
pengampu: Ahmad Mubaligh,M.HI
Disusun
Oleh:
Via
Dila Hasanah (14150087)
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji hanya
milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas Studi
Fiqih ini guna memenuhi tugas mata kuliah.
Makalah ini disusun agar pembaca
dapat mengerti mazhab syafi’i dalam fiqh. Kepada pembimbing yang telah
memberikan arahan, dalam memberikan bimbingan kepada penulis, rasanya tiada
kata yang pantas diucapkan selain terima kasih yang tak terhingga.
Untuk itu melalui kata pengantar ini
penulis sangat terbuka menerima kritik serta saran yang membangun sehingga
secara bertahap penulis dapat memperbaikinya. Namun demikian penulis sangat
berharap kiranya makalah ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang Madzhab Syafii. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan
dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing
kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan
makalah kami di masa yang akan datang dan mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca.
Malang,
3 November 2016
Tim
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR
ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan
Penulisan.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah singkat (Biografi) Imam Syafi’i ......................................... 2
B.
Sumber-sumber hukum yang dipakai
Imam Syafi’i......................... 5
C. Pemikiran Imam Syafi’i
dalam Fiqih................................................ 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
..................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu fiqih merupakan bagian ilmu
syariat, karena syariat adalah ketepatan-ketepatan Allah SWT yang diberikan
kepada Rasulullah mengenai tiga aspek yaitu akhlak, aqidah dan fiqih. Dalam
ilmu fiqih paling banyak dibahas yaitu mengenai hukum-hukum dalam islam yang
tidak dapat dipungkiri dalam penentuan hukum ini para ulama banyak memiliki
perbedaan pendapat didalamnya.
Ulama-ulama fiqih yang terkenal
sampai masa sekarang ini yaitu Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam
Hambali. Keempat madzhab terkuat yang ada didunia ini mampu bertahan sampai
sekarang dan pemikiran-pemikiran beliau tetap dipakai sampai saat ini.
Tentunya sebagai umat muslim
alangkah lebih baiknya jika memahami madzhab-madzhab yang ada dalam ilmu fiqih
.Salah satu yang terkenal dan banyak dipakai di Negara ini adalah madzhab
Syafii. Dan makalah yang akan kami bahas yaitu mengenai madzhab syafii.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini, diantaranya:
1.
Bagaimana sejarah singkat (Biografi) Imam Syafi’i?
2.
Apa saja sumber-sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i?
3.
Bagaimana pemikiran Imam Syafi’i dalam Fiqih?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Untuk Mengetahui Sejarah singkat (Biografi) Imam Syafi’i
2.
Untuk Mengetahui sumber-sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i
3.
Untuk menganalisis pemikiran Imam Syafi’i dalam Fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat (Biografi) Imam Syafi’i
Nama asli dari imam syafii adalah Al
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin
As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yaziz bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf.
Imam Asy-Syafi’i lahir di Gaza pada
tahun 150 Hdan wafat di Mesir tahun 204 H. Ibunya keturunan Yaman dari kabilah
Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik Imam Asy-Syafi’i.
Silsilah Imam Al-Syafi’i dari
ayahnya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW, pada Abdu Manaf. Oleh karena
itu, beliau termasuk suku Quraisy. Ibunya dari Suku al Azdi di Yaman. Beliau
dilahirkan di Ghaza, salah satu kota di Pelestina pada tahun 150 H. Ayahnya
meninggal ketika beliau masih bayi. Sehingga al-Syafi’i dibesarkan dalam
keadaan yatim dan fakir.
Ia hidup di mekkah dalam keadaan
yatim, ia telah hafal al-Qur’an dalam usia tujuh tahun, ia belajar pada Muslim
bin Khalid Az Zanji, Mufti Mekkah. Kemudian belajar pada Imam Malik di Madinah,
lalu ia mengahafal Al Muwatta’ dalam
tempo sembilan malam. Setelah ia menamatkan pelajarannya di Madinah, ia pergi
ke Yaman, disana ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada tahun 184
ia dituduh berfaham Syiah, lalu ia dibawa ke Iraq bersama beberapa orang Syiah.
Setelah ia dapat membela dirinya, maka ia dibebaskan dari tuduhan itu, lalu ia
memanfaatkan kesempatan selama ia tinggal di baghdad untuk munadzarah (bertukar
fikiran) dengan Muhammad bin Hasan sahabat Imam Abu Hanifah. Kitab-kitab
tulisan Imam Syafi’i penuh dengan hasil
munadzarah ini. Ia kembali ke Hijaz bertemu dengan beberapa orang ulama
di mekkah.
Muhammad bin Hasan Asyaibani pernah
belajar kepada Imam Malik selama 3 tahun. Dari Muhammad bin Hasan Asyaibani beliau mendapat pelajaran fiqh Imam
Abu Hanifah selama dua tahun. Kemudian kembali lagi ke Mekkah. Pada kesempatan
musim haji beliau bertemu dengan ulama-ulama yang pergi ke Mekkah naik Haji
dari seluruh dunia islam. Dengan demikian fiqh Imam Syafi’i menyebar diseluruh
wilayah islam.
Beliau bermukim di Mekkah selama
tujuh tahun. Kemudia pada tahun 195 H, kembali lagi Baghdad dan sempat
berziarah ke kuburan Abu Hanifah ketika itu umurnya 45 tahun. Di Baghdad beliau
memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang sangat
terkenal adalah Ahmad Ibn Hanbal yang sebelumnya pernah bertemu imam al
–Syafi’i di Mekkah. Ahamad bin Hanbal sangat mengagumi kecerdasan dan kekuatan
dan ingat Imam al-Syafi’i serta kesederhanaan dan keikhlasannya dalam bersikap.
Pada tahun 195 H, ia berkunjung lagi
di Baghdad untuk kedua kalinya, namun Khalifah Harunur Rasyid telat wafat,
demikian juga Imam Muhammad bin Al Hasan telah wafat, demikan juga Imam
Muhammad bin Al Hasan telah wafat pula. Ia tinggal di Baghdad selam dua tahun,
dan selama itulah ia menulis kitabnya yang bernama:
“Al hujjah” yang isinya dikenal dengan :Al Mazhabul Qadim”. Pada waktu ini pula
ia bertemu dengan Ahmad bin Hanbal. Sahabat Abu Hanifah yang terbesar pada
waktu itu ialah: Al Hasan bin Ziad Al Lu’lui, tetapi Syafi’i tidak melakukan
munadzarah dengannya, sebagaimana halnya dengan Muhammad bin Al Hasan. Ia
kembali ke Mekkah setelah selesai menulis bukunya tersebut, dan mengajarkannya
kepada ulama Baghdad. Pada tahun 198 H ia berkunjung lagi untuk ketiga kalinya
ke Baghdad, dan tinggal disana selama satu bulan. Kemudian ia berkunjung ke
Mesir pada tahun 200 H.
Setelah dirasa cukup, beliau
kemudian pindah ke Mesir dengan tujuan untuk belajar kepada Imam al-Laits. Sayangnya,
al-Laits sudah wafat ketika as-Syafi’i belum sampai ke Mesir. Meski demikian,
beliau tetap mendalami mazhab laitsi lewat para muridnya. Beliau tinggal di
Mesir sampai wafatnya pada tahun 820 M.
Di Mesir inilah ia menulis kitabnya
yang baru, yang berisi dengan pendapatnya yang baru, dikenal dengan “Al
Mazhabul Jadid” ia wafat pada tahun 204 H.
Dari riwayat hidupnya tampak juga
bahwa Imam al-Syafi’i adalah seorang ulama’ besar yang mampu mendalami serta
menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan metode Imam Abu Hanifah,
sehinnga menemukan metode ijtihadnya sendiri yang mandiri. Beliau sangat
berhati-hati dala berfatwa, sehingga dalam fatwanya itu ada keseimbangan antara
rasio dan rasa.
Bagi Imam al-Syafi’i ibadah itu
harus membawa kepuasan dan kemenangan dalam hati. Untuk itu diperlukan
kehati-hatian. Oleh karena itu konsep ikhtiyat (prinsip kehatian-hatian) mewarnai
pemikiran Imam al-Syafi’i.
Dari riwayat hidupnya tampak juga
bahwa Imam al-Syafi’i menghindari perselisihan dengan pemegang kekuasaan pada
masa itu.hal ini tidak berarti bahwa Imam al-Syafi’i menghindari perselisihan
dengan pemegang kekuasaan pada masa itu. Hal ini tidak berarti bahwa Imam
al-Syafi’i tidak meenentang perbuatan-perbuatan maksiat. Ini dibuktikan
misalnya beliau pernah menolak tawaran khalifah untuk menjadi Qadi. Diantara
kitab-kitab yang beliau karang adalah:
1.
Kitab Al-Risalah. Yang merupakan kitab ushul fiqh yang pertama kali dikarang dan karenanya imam al-Syafi’i
dikenal sebagai peletak ilmu Ushul fiqh.
Didalamnya diterangkan tentang
pokok-pokok pikiran Imam al-Syafi’i dalam menetapkan hukum. Imam syafi’i
sendiri lebih senang menyebut al Risalah dengan “buku kami” atau “bukuku”, yang
menunjukkan arti penting kitab al Risalah bagi dirinya.
2.
Kitab Al-Umm. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas
berdasarkan poko-pokok pikiran beliau taerdapat dalam al-Risalah.
Ulama-ulama besar yang bermazhab
Imam al-Syafi’i diantaranya adalah: Ar-Robi-Murodi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti,
al-Mujani, Abdullah al-Jjuwaeni, al-Ghozali, Ar-Razi, Abu Isak Asyirozi, Ijudin
binAbdi as-Salam ,Taqiyudin Asubki, Al-Mawardi, Taqiyuddin bin Daqiqi iid,
anNawawi, dan masih banyak yang lainnya. Salah seorang muridnya yang pandai adalah
Ahmad Ibn Hanbal.
Adapun murid-muridnya yang
meriwayatkan kitabnya yang lama “Al Hujjah” ada empat orang fuqaha di Iraq
yaitu: Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Az Za’farani, dan Al Karabisi. Sedangkan
yang meriwayatkan mazhabnya yang baru dalam kitabnya “ Al Umm” pada bab fiqh,
seluruhnya ada empat orang juga, mereka semuanya orang-orang mesir yaitu:
Ismail bin Yahya Al Muzani, Yusuf binYahya Al Buwaithi, Ar Rabi’ bin Sulaiman
Al Miradi, dan Harmalah bin Yahya An Najibi.
B.
Sumber-Sumber Hukum yang Dipakai Imam Syafi’i
Sumber-sumber hukum atau dasar-dasar hukum yang diapakai oleh imam
syafii dalam menetapkan hukum fiqih adalah sebagi berikut:
1. Nash-nash, yaitu Alquran
dan Sunnah yang merupan sumber utama bagi fiqh islam, dan selain keduanya
adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat,
tetapi mereka tidak pernah bertentangan dengan Al-quran atau sunnah.
Keduanya merupakan sumber bagi
segala pendapat, baik dengan nash atau melalui penafsirannya. Demikian pula
Ijma’, pasti bersandar kepada keduanya dan tidak mungkin keluar darinya, dan
setiap ilmu harus diambil dari yang lebih tinggi, dan keduanya adalah yang
tertinggi. Perlu juga kami tegaskan bahwa penyatuan antara Alquran dan sunnah
padahal keduanya bukan satu martabat, bukan berarti bahwa sunnah dengan
Al-quran dari segala aspek. Beliau hanya menilai bahwa Al-quran merupakan dasar
agama , tiang, dan hujja-nya. Sunnah adalah cabang dan Al-quran adalah
dasarnya. Oleh karena itu, darinya ia mengambil kekuatan sehingga disamakan kedudukan
nya dalam meng-istinbat hukum, membantu Al-quran dalam menjelaskan makna dan
syari’at yang terkandung didalamnya yang dapat membawa kemaslahatan bagi umat
dalam kehidupan mereka.
Dalam menjelaskan masalah furu’iyah, Imam Asy-Syafi’i meletakkan
ilmu tentang sunnah, sama dengan ilmu tentangAl-quran agar istinbat hukum tidak
meleset. Akan tetapi, beliau tidak meletakkan setiap hadis yang diriwayatkan
dari Rasulullah SAW sama dengan A-quran yang mutawatir, karena hadis ahad
tidak sama kedudukannya dengan hadis mutawatir,
apalagi jika disamakan dengan ayat al-qur;an. Imam Asy-Syafi’i mengingatkan
tentang hal tersebut ketika membatasi sunnah yang sama kedudukannya dengan
al-quran adalah sunnah yang sama kedudukannya dengan al-qur’an adalah sunnah
yang shahih. Inilah yang ia maksudkan dengan ucapannya, “Al-Kitab dan Sunnah
jika kamu mau”.
Al-imam syafii juga dikenal sebagai
pembela sunnah rasulullh saw dengan cara menghancurkan segala upaya musuh
dengan menyebarkan isu bahwa tidak layak menerima sesuatu yang tidak satu makna
dengan al-quran atau berupa hadist mutawatir. Orang-orang yang menolak/tidak
mau menerima hadis kecuali yang mutawatir saja akan berdampak pda penolakan
pada hadist ahad.
Imam Asy-Syafi’i sangat longgar
dalam menyeleksi sunnah, tidak memberikan syarat seperti yang dilakukan oleh
Abu Hanifah dan Malik, dan yang ia syaratkan hanya hadis yang shahih, sanadnya
bersambung dan karena hadis mursal tidak bersambung sanadnya, maka beliau tidak
mau mengambil hadis dari hadis-hadis mursal
Sa’id dan Musayyib.
2. Ijma’ merupakan salah satu dasar
yang dijadikan sebagai hujjah Meskipun
Imam as-Syafi’i memiliki keragua-raguan yang serius mengenai kemumgkinan ujma’
dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa kasusu dimana ijma tidak
terletakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok hukum islam urutan ketiga.
Beliau mendefinisikannya sebagai
kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i
dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijma’ pertama yang digunakan oleh Imam
Asy-Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, beliau menetepkan bahwa ijma’
dilahirkan dalam berdalil setelah Al-quran dan sunnah. Apabila masalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan Al-quran dan sunnah maka tidak ada hujjah
padanya.
3. Qaul para sahabat. Beliau membagi
pendapat para sahabat kepada tiga bagian: Pertama,
sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijma’ mereka untuk membiarkan lahan
pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijma’ seperti
ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan
tidak ada yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka Imam
Asy-Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga,
masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Asy-Syafi’i
akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Al-quran , sunnah, atau
ijma’, atau menguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan
membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4. Qiyas. Beliau menilainya sebagai
sebuah bentuk ijtihad karena seperti yang sudah kami jelaskan ketika berbicara
tentang dasar-dasar istinbat Imam Asy-Syafi’i, ia sama dengan menggali makna
nash atau menguatkan salah satu pendapat untuk mencapai pendapat yang lebih
mudah dilaksanakan. Atas dasar ini beliau menetapkan qiyas sebagai salah satu
sumber hukum bagi syari’at islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan
sunnah yang tidak ada nash pasti. Dan beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan
untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar
menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang
mujtahid. Itulah beberapa dasar yang dijalankan oleh Imam Asy-Syafi’i dengan
menggali hukum, seperti yang disebutkannya dalam kitab Al-Umm. Dan kita melihat beliau tidak menyebutkan adat dan istishab, namun aplikasinya dalam mazhab
syafi’i semuanya ada dan bukti nyata dari semua itu adalah lahirnya mazhab baru
ketika beliau berada di Mesir dan meninggalkan sebagian pendapatnya di Irak
yang kesemuanya bermuara pada al’urf
dan istishab. Imam Asy-Syafi’i
menolak istihsan dan mengatakan, “Barangsiapa
yang melakukan istihsan sungguh ia telah membuat syariat sendiri”. Oleh
karena itu, tidak ada dalil al mashalih al
mursalah dalam mazhabnya karena ia sudah merasa cukup dengan apa yang
dinamakannya munasabah (kesesuaian)
yang merupakan salah satu cara dalam menetapkan illat dalam qiyas.
Ia tidak mengambil qaulus shabah dan
istihsan
ia menolak penggunaan maslahatul mursalah, dan amalualil Madinah. Ia populer
sebagai “Pembela Sunnah”.
5. Istidzlal
Bila imam syafii tidak mendapatkan
keputusan hukum dari alqur’an,sunnah, ijma dan qiyas, maka barulah ia mengambil
dengan jalan istidzlal, mencari alasan, bersandarkan kaidah-kaidah agama, meski
itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar’u man qoblana” dan tidak
sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia. Juga ia tidak mau
mengambil hukum dengn cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama
dari pengikut imam abu hanifah di bagdad dan lainnya.
C.
Pemikiran Imam Syafi’i dalam Fiqih
1. Rujukan
Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, rujukan pokok adalah al-Quran
dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam al-Quran dan Sunnah,
hukum persoalan tersebut ditentukan dengan qiyās. Sunnah digunakan apabila sanadnya
shahih. Ijma' lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari
hadith adalah makna zhahir; apabila suatu lafad ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zhahir lebih diutamakan. Hadith munqathi' ditolak kecuali jalur Ibn al-Musayyab. al-asl tidak boleh
diqiyāskan kepada al-asl. Pertanyaan “mengapa?” dan “bagaimana?” tidak boleh
dipertanyakan kepada al-Quran dan Sunnah; pertanyaan tersebut dipertanyakan
hanya kepada al far'. Qiyās
dapat menjadi hujjah apabila
pengkiyasannya benar.
2. Qaul Qadīm dan Qaul Jadīd
Tahap
terpenting dalam karier keilmuan Imam Syafi’i adalah ketika ia berkunjung ke
Irak untuk ketiga kalinya. Saat itu Khalifah Harun al-Rashid telah meninggal
dan digantikan oleh al-Ma'mun. Dan gurunya Muhammad bin al-Hasan juga telah
wafat. Lawatan ini tidak berlangsung lama, tetapi momentum yang terpenting
adalah is memproklamasikan kebebasannya dari fatwa-fatwa gurunya. Artinya ia
tampil dengan ijtihadnya sendiri dalam fatwa-fatwanya. Hal ini terjadi pada
tahun 198 H. Sejak itu ia dikenal dengan mujtahid mutlaq. Saat-saat inilah ia
menyusun sebagai kitab pertama dalam bidang ushul al-fiqh. Pendapat-pendapat yang diutarakannya sampai
dengan periode ini dinamakan sebagai al-qaul al-qadīm (pendapat lama, yang diperlawankan dengan
pendapat-pendapatnya sesudah itu muncul yang dinamakan al qaul al-jadīd,
pendapat baru). Buku tersebut disusun setelah bermukim di Mesir.
Ahmad Amin berkomentar bahwa ulama pada
umumnya membagi pendapat Imam As-Syafi’i menjadi dua: qaul qadīm dan qaul jadīd. Qaul qadīm adalah pendapat
Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang
dikemukakan dan ditulis di Mesir. Sya'ban Muhammad Isma'il mengatakan bahwa
pada tahun 195 H., Imam As-Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan
al-Amin. Di Irak, Imam As-Syafi’i banyak belajar kepada ulama Irak dan banyak
mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ray. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat
Imam As-Syafi’i dan berhasil dipengaruhi olehnya adalah: (a) Ahmad Ibn Hanbal;
(b) al-Karabisi; (c) al-Za'farani; dan (d) Abu Tsaur. Setelah tinggal di Irak,
As-Syafi’i melakukan perjalanan ke dan kemudian tinggal di Mesir. Di Mesir, is
bertemu dengan—dan berguru kepada—ulama Mesir yang pada umumnya adalah sahabat
Imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqh ulama Madinah atau ahl al-hadīth. Karena perjalanan intelektualnya
tersebut, Imam As-Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul
jadīd. Qaul qadīm adalah
pendapat Imam As-Syafi’i yang bercorak ra’y;
sedangkan qaul jadīd adalah
pendapatnya yang bercorak hadith.
Hanya saja
yang perlu dicatat di sini adalah ahl alra'y bukan berarti menolak sama sekali
pemahaman tekstual ataupun otoritas teks. Demikian pula, ahl al-hadīth bukan
berarti menolak sama sekali peranan rasio dalam memahami teks agama. Pemberian
nama ini berkenaan dengan porsi penggunaan kedua kecenderungan tersebut
tersebut pada masing-masing aliran.
As-Syafi’i melihat kelebihan pada
masing-masing aliran tersebut sebagai kekuatan yang bermanfaat bagi pemikiran
Hukum Islam. Oleh karenanya, aliran-aliran tersebut harus dikawinkan. Sehingga
fiqh al- Shafi’i dikenal berada di antara fiqh ahl al-hadīth dan fiqh ahl al-ra’y.
Tentang persoalan al-qaul al-qadīm dan al-qaul al jadīd, sebagian ulama
masih berpegang dan berfatwa pada pendapat-pendapat tertentu dari al-qaul al qadīm yang mereka anggap
sahih. Mayoritas otoritas Shafi’iyah berpedoman bahwa, jika suatu pendapat dari
al-qaul al-qadīm didukung
oleh hadith yang sahih,
sedangkan pada al-qaul al jadīd
hanya didukung oleh hasil qiyās
(pada hal yang sama), maka al-qaul
al qadīmlah yang harus dipakai. Hal ini sesuai dengan prinsip
As-Syafi’i “kalau suatu hadith telah sahih, maka adalah mazhabku". Apabila
suatu pendapat al-qaul al-qadīm tidak didukung oleh hadith
sebagaimana tersebut di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat itu
boleh dipilih melalui otoritas mujtahid
fi al-mazhab. Pendapat ini muncul berdasarkan
alasan bahwa jika seorang imam yang mempunyai pendapat baru, dimana pendapat
baru tersebut berbeda dengan pendapat lama, maka ia tidak boleh dianggap telah
mencabut pendapat yang lama. Tetapi, imam tersebut harus dianggap bahwa pada
masalah yang sama ia mempunyai pendapat yang berbeda. Sementara itu, sebagian
ulama yang lain mengatakan bahwa mujtahid
fi al-mazhab tidak boleh memilih al qadīm dengan alasan bahwa itu adalah mazhab As-Syafi’i, sebab al-qadīm dan al jadīd berlaku sebagai dua
diktum yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, sehingga pendapat
yang harus dipakai adalah pendapat yang terbaru. Hal ini sesuai dengan maklumat
yang dikeluarkan oleh As-Syafi’i sendiri ketika ia mencabut al-qadīm.
Terlepas
dari pernyataan As-Syafi’i di atas, sebenarnya sebagian ulama Syafi’iyah
melakukan tarjih ulang dan ternyata ada beberapa masalah yang dinilai lebih
kuat pendapat lama daripada pendapat baru. Bila pendapat lama dinilai lebih
kuat sandaran hadithnya, maka pendapat lama yang dipakai, bukannya pendapat
baru. Satu contoh dari pentarjihan yang demikian adalah pendapat tentang
pengakhiran waktu shalat isya’. Dalam qaul
qadīm, al-Syafi’í berfatwa bahwa sholat isya’ sebaiknya dilakukan di awal
waktu. Sedangkan dalam qaul qadīm,
beliau berfatwa bahwa shalat isya’ di akhir waktu lebih utama.
Berikut
merupakan contoh tabel pengaplikasian qaul qadīm dan qaul
jadid dalam beberapa konteks hal:
No.
|
Topik
|
Qaul
Qadīm
|
Qaul Jadid
|
1.
|
Tertib dalam wudu
|
Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah
sah
|
Orang yang wudunya tidak tertib meskipun karena lupa
adalah tidak sah
|
2
|
Berturut-turut dalam wudu
|
Berturut-turut dalam membasuh anggota badan yang
wajib dibasuh dalam berwudu adalah wajib
|
Berturut-turut dalam membasuh anggota badan yang
wajib dibasuh dalam berwudu adalah sunnah bukan wajib
|
3.
|
Menyentuh dubur
|
Menyentuh dubur tidak membatalkan wudu
|
Menyentuh dubur membatalkan wudu
|
4.
|
Tangan yang wajib diusap dalam tayammum
|
Tangan yang wajib diusap hanyalah dua telapak
tangan.
|
Tangan yang wajib diusap dua telapak tangan serta
dua sikunya.
|
5.
|
Tayammum dengan pasir
|
Seseorang dibolehkan tayammum dengan pasir
|
Seseorang tidak dibolehkan tayammum dengan pasir
|
6.
|
Mengulangi sholat karena menemukan air
|
Orang yang sholat dengan tayammum karena tidak
mendapatkan air, tidak perlu mengulangi sholatnya, meskipun setelah sholat ia
mendapatkan air
|
Orang yang sholat dengan tayammum karena tidak
mendapatkan air, diwajibkan mengulangi sholatnya, apabila yang bersangkutan mendapatkan
air segera setelah selesai sholat
|
7.
|
Waktu mengusap sepatu
|
Tidak ada batasnya. Mengusap sepatu berakhir hingga
sepatu itu dibuka atau hadast yang mewajibkan membukanya, seperti kewajiban
mandi junub
|
Waktunya dibatasi. Bagi musafir, waktu mash al huffain
adalah 3 hari 3 malam, sedangkan yang mukim adalah sehari semalam
|
8.
|
Tertidur ketika rukuk, sujud atau berdiri sholat
|
Seseorang yang tertidur ketika rukuk, sujud atau
berdiri sholat tidak batal wudunya
|
Seseorang yang tertidur ketika rukuk, sujud atau
berdiri sholat batal wudunya
|
9.
|
Sholat dengan pakaian yang terkena najis karena lupa
atau tidak mengetahuinya.
|
Seseorang yang Sholat dengan pakaian yang terkena
najis karena lupa atau tidak mengetahuinya adalah sah; ia tidak perlu
mengulang sholatnya
|
Seseorang yang Sholat dengan pakaian yang terkena
najis karena lupa atau tidak mengetahuinya adalah batal dan wajib
mengulang
sholatnya
|
10.
|
Imam batal sholat
|
Apabila imam batal sholatnya karena hadast, ma’mum
meneruskan sholatnya masing-masing secara perorangan (munfarid)
|
Apabila imam batal sholatnya karena hadast, ma’mum
meneruskan sholatnya dan salah seorang dari mereka menggantikan posisi imam
yang sholatnya batal itu.
|
11.
|
Keutamaan sholat isya
|
Sholat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera (ta’jil)
|
Sholat isya lebih utama dengan diakhirkan (ta’khir)
|
12.
|
Mengucapkan “Amin” bagi makmum
|
Dalam sholat yang bacaannya “jahar”, makmum
disunatkan mengucapkan ‘Amin” setelah imam membaca surah al-Fatihah secara
“jahar” pula
|
Dalam sholat yang bacaannya “jahar”, makmum
disunatkan mengucapkan ‘Amin” setelah imam membaca surah al-Fatihah secara
tidak “jahar”
|
13.
|
Salah kedua diakhir sholat
|
Salam kedua ketika sholat berakhir tidak
disyariatkan. Oleh karena itu ia tidak disunahkan
|
Salam kedua ketika sholat berakhir tidak
disyariatkan. Oleh karena itu ia sunnah diucapkan.
|
14.
|
Waktu pengeluaran zakat fitrah
|
Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada hari idul fitri
setelah terbit fajar (waktu subuh tiba)
|
Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada hari idul fitri
setelah matahari terbenam (waktu maghrib tiba)
|
15.
|
Meninggal sebelum menunaikan puasa wajib yang
tertinggal (qodlo’)
|
Wali memiliki hak pilih untuk melakukan puasa atas
nama yang meninggal sebelum menunaikan kewajiban puasanya yang tertinggal,
atau mengeluarkan harta sebesar satu mud setiap hari puasa yang di qodlo
nya
|
Wali diwajibkan untuk mngetluarkan fidyah sebesar
satu mud untuk menggantikan puasa yang ditinggal oleh seseorang berda dalam
pengampunannya; puasa tersebut tidak sah diganti oleh puasa wali
|
16.
|
Sanksi jimak dengan isteri yang sedang haid
|
Seseorang yang berjimak dengan isterinya yang sedang
haid diwajibkan kafarat dengan didenda satu dinar atau setengan dinar
|
Seseorang yang berjimak dengan isterinya yang sedang
haid tidak diwajibkan kafarat, termasuk yang tercela dan wajib bertaubat
kepada Allah
|
17.
|
Meninggalkan bacaan fatihah dalam sholat karena lupa
|
Seseorang yang sholat dan tidak membaca surat karena
lupa, sholatnya adalah sah
|
Seseorang yang sholat dan tidak membaca surat karena
kelupaan, sholatnya tidak sah. Jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya
sebelum berdiri yang kedua , ia kembali berdiri dan membaca alfatihah ketika
berdiri tersebut. Apabila yang bersangkutan baru teringat pada rokaat kedua,
maka rokaat tersebut dianggap rokaat pertama. Apabila yang bersangkutan
teringat setelah salam, maka sholatnya wajib diulangi.
|
18.
|
Hukum umroh
|
Ibadah umroh adalah sunnah
|
Ibadah umroh wajib atau fardlu
|
19.
|
Menjual benda milik orang lain.
|
Apabila seseorang menjual barang milik orang lain
maka hukumnya bergantung pada sikap pemilik; apabila pemilik benda
mengijinkan (merelakannya), maka penjualan tersebut dibolehkan dan sah.
Sedangkan apabila sebaliknya pemilik benda tidak merelakannya maka jual beli
tersebut tidak boleh dan batal hukumnya.
|
Apabila seseorang menjual barang milik orang lain
hukumnya batal meskipun pemilik benda mengijinkan atau merelakannya.
|
20.
|
Penjualan kulit bangkai yang disamak
|
Penjualan kulit bangkai yang sudah disamak tidak
boleh dijual
|
Penjualan kulit bangkai yang sudah disamak boleh
dijual.
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam makalah
ini ada beberapa hal yang penulis simpulkan antara lain:
1. Nama asli dari imam syafii adalah Al
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin
As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yaziz bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf. Imam
Asy-Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 Hdan wafat di Mesir tahun 204 H.
Silsilah Imam Al-Syafi’i dari ayahnya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad
SAW, pada Abdu Manaf. Oleh karena itu, beliau termasuk suku Quraisy. Diantara
kitab-kitab yang beliau karang adalah:
i.
Kitab Al-Umm
ii.
Kitab Al-Risalah
2. Sumber-Sumber Hukum yang Dipakai
Imam Syafi’i:
i.
Nash-nash, yaitu Alquran dan Sunnah yang merupan sumber utama bagi fiqh
islam
ii.
Ijma’
iii.
Pendapat para sahabat
iv.
Qiyas
v.
Istidzlal
3. Menurut Imam Syafi’i,
rujukan pokok adalah al-Quran dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur
dalam al-Quran dan Sunnah, hukum persoalan tersebut ditentukan dengan qiyās. Ulama pada umumnya membagi pendapat Imam As-Syafi’i menjadi
dua: qaul qadīm dan qaul
jadīd. Qaul qadīm adalah
pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul
jadīd adalah pendapat Imam
As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.
Prof.H.A. Dzajuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta: Kencana, Jakarta,
2013) hlm.129 dan Ngainun Naim , Sejarah Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta:TERAS,2009).hlm89
dan Drs.H.Muhammadiyah Djafar,Pengantar
Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam Mulia,1993).hlm.91 dan Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm.91
Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm. 185
Drs.H.Muhammadiyah
Djafar,Pengantar Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam
Mulia,1993).hlm.91
Dj Drs.H.Muhammadiyah
Djafar,Pengantar Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam
Mulia,1993).hlm.92
Ngainun
Naim , Sejarah Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta:TERAS,2009).hlm.89-90
Prof.H.A. Dzajuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta: Kencana, Jakarta,
2013) hlm.131
Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm.
189-191
Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm.
189
Ngainun
Naim , Sejarah Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta:TERAS,2009).
91
Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm
190
Ngainun Naim , Sejarah
Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta:TERAS,2009).halaman 91 disebutkan bahwa
imam syafi’i menolak prinsip istihsan yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah dan
istishlah Imam Malik. Dalama pandangannya, istihsan merupakan bentuk bid’ah
karena lebih menempatkan penalaran manusi terhadap wilayahnya yang sesungguhnya
telah tersedia nashnya. Meskipun demikian, ketika menghadapi
persoalan-persoalan serupa, para pengikut Syafi’i diwajibkan menggunakan sebuah
prinsip yang mirip dengan istihsan dan istihlah yang dinamakannya istishab.
Istishab secara literal berarti mrncari suatu keterkaitan , tetapi secara
hukum, istishab merujuk kepada proses perumusan hukum-hukum fiqh dengan
mengaitkan serangkaian keadaan-keadaan berikutnya dengan keadaan-keadaan
sebelumnya. Istishab didasarkan atas asumsi bahwa hukum fiqh bisa di
aplikasikan pada kondisi tertentu yang tetap sah sepanjang persyaratannya tidah
berubah.
Drs.H.Muhammadiyah Djafar,Pengantar Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam Mulia,1993).hlm. 93
Jaih Mubarok, Modifikasi
Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada, 2002).hlm. 33
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi
tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada,
2002).hlm. 9
Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1979.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli,
Pro. H.A, 2013,Ilmu Fiqh,Jakarta:KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP
Hasan
Khalil,Dr. Rasyad,2009,Sejarah Legislasi
Hukum Islam,Jakarta:AMZAH
Naim,Ngainun,2009,Sejarah Pemikiran Hukum Islam,
Yogyakarta:TERAS
Djafar,
Drs.H.Muhammadiyah,1993,Pengantar Ilmu
Fiqh,Jakarta:Kalam Mulia
Mubarok,Jaih,2002,
Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada