Minggu, 26 Maret 2017

sumber dan media pembelajaran bahasa arab



Pengembangan Sumber dan Media Pembelajaran Bahasa Arab
A.    Nama Media belajar                                        : Buku Bergambar
B.     Jenis Media belajar                                         : Visual
C.     Unsur/maharah bahasa                                    : Maharah Kalam
D.    Satuan pendidikan                                          : Madrasah Ibtidaiyah KelasV
E.     Durasi penggunaan                                         :20 menit
F.      Deskripsi sumber media pembelajaran           :
Media tebuat dari kertas karton dengan ukuran 20cm x 25cm. Didalamnya terdapat gambar tentang materi yang dijelaskan, contohnya tentang hewan. Pada setiap lembarnya terdapat gambar binatang dan tempat hidupnya serta terdapat nama binatang dalam bahasa arab di setiap lembarnya.  Dibelakang gambar  juga terdapat solasi doubletipe agar gambar dapat menempel disetiap lembarnya serta terdapat potongan kertas karton agar memberikan efek timbul pada gambar. Gambar berwarna agar lebih menarik peserta didik dalam pemberalajaran.

G.     Langkah-langkah penggunaan media
1.      Guru membuka buku didepan peserta didik agar peserta didik dapat melihat gambar dengan jelas .
2.      Guru mencontohkan peserta didik dalam pelafalan nya kemudian ditirukan oleh peserta didik.
3.      Guru memberikan contoh untuk mendeskripsikan atau hiwar tentang hewan yang ada pada gambar
4.      Guru meminta peserta didik untuk mendeskripsikan gambar sesuai dengan yang dicontohkan atau guru meminta dua peserta didik untuk melakukan hiwar didepan tentang deskripsi gambar tersebut.
5.      Mengevaluasi hasil deskripsi dari peserta didik
H.    Kelebihan dan kekurangan media      :
1.      Kelebihan Buku Bergambar
a.       Sifatnya konkrit
b.      Mudah dibawa kemana-mana
c.       Gambar dapat mengatasi ruang dan waktu
d.      Media gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu
e.       Gambar dapat memperjelas suatu masalah.
f.        Belajar akan lebih menyenangkan dan tidak monoton.
g.      Media gambar mudah didapat dan digunakan.
2.      Kekurangan Buku Bergambar
a.       Warna pada buku kurang colorfull
b.      Kertas pada gambar kurang tebal sehingga mudal lusuh
I.           Kerangka Materi
A.    Mufrodat :
a.       Sapi                      بَقَرْ           
b.      Monyet                 قِرْدٌ
c.       Gajah                فِيْلٌ
d.      Unta                     جَمَلْ
e.       Singa                    أَسَدْ
f.        Kura-kura             زِلحَفَةْ
g.      Ikan                      سَمَكْ
h.      Katak                   ضِفْدَعْ
i.        Kuda                    حِصَانْ
j.        Jerapah                 زُرَافَةْ

B.     Kalimat Sederhana
Contoh untuk deskripsi:
البَقَر هِيَ حَيَوَانٌ كَبِيْرٌ
البَقَرٌ يأكُلُ الحَشِيْشَ
البَقَرٌ يَعِيْشُ في الزَّرِبَةِ
            Contoh Hiwar :
أحمد : السلام عليكم
عمر : وعليكم السلام
أحمد : كيف حالك، يا عمر؟
عمر : الحمد لله بخير ، وأنت؟
أحمد :أنا بخير أيضا،  ما هَذَا يا عمر؟
عمر : هَذا بَقَرْ، وما هَذا؟
أحمد :هَذا جَمَلْ . يا عمر ما طعام البقر؟
عمر : طَعَامُ بَقَر الحَشِيْشَ ز وماَ طَعام جَمَل ،يا أحمد؟
أحمد : طعأم جَملُ الحَشِيْشَ أيْضًا . يا عمر أين يَعِيْشُ بَقر؟
عمر : البقر يعيْشُ في الأرْضِ
أحمد : نَعم ، جمَلُ يَعِيْشُ في الأرْضِ أيْضًا

Minggu, 19 Maret 2017

Makalah Madzhab Imam Syafii




MAKALAH
MADZHAB IMAM SYAFI’I
(makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqh)

Dosen pengampu: Ahmad Mubaligh,M.HI



Disusun Oleh:
Via Dila Hasanah (14150087)







JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016

 
KATA PENGANTAR

Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  Studi Fiqih ini guna memenuhi tugas mata kuliah.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengerti mazhab syafi’i dalam fiqh. Kepada pembimbing yang telah memberikan arahan, dalam memberikan bimbingan kepada penulis, rasanya tiada kata yang pantas diucapkan selain terima kasih yang tak terhingga.
Untuk itu melalui kata pengantar ini penulis sangat terbuka menerima kritik serta saran yang membangun sehingga secara bertahap penulis dapat memperbaikinya. Namun demikian penulis sangat berharap kiranya makalah ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang Madzhab Syafii. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,  kepada  dosen  pembimbing kami meminta  masukannya  demi  perbaikan  pembuatan makalah kami di  masa  yang  akan  datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.


Malang, 3 November 2016

Tim Penyusun





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................        i
DAFTAR ISI.........................................................................................         ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................         1
B.     Rumusan Masalah............................................................................         1
C.     Tujuan Penulisan..............................................................................         1
BAB II PEMBAHASAN
A.  Sejarah singkat (Biografi) Imam Syafi’i .........................................        2         
B.  Sumber-sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i.........................       5          
C.  Pemikiran Imam Syafi’i dalam Fiqih................................................       8


BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan .....................................................................................       16        
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu fiqih merupakan bagian ilmu syariat, karena syariat adalah ketepatan-ketepatan Allah SWT yang diberikan kepada Rasulullah mengenai tiga aspek yaitu akhlak, aqidah dan fiqih. Dalam ilmu fiqih paling banyak dibahas yaitu mengenai hukum-hukum dalam islam yang tidak dapat dipungkiri dalam penentuan hukum ini para ulama banyak memiliki perbedaan pendapat didalamnya.
Ulama-ulama fiqih yang terkenal sampai masa sekarang ini yaitu Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Hambali. Keempat madzhab terkuat yang ada didunia ini mampu bertahan sampai sekarang dan pemikiran-pemikiran beliau tetap dipakai sampai saat ini.
Tentunya sebagai umat muslim alangkah lebih baiknya jika memahami madzhab-madzhab yang ada dalam ilmu fiqih .Salah satu yang terkenal dan banyak dipakai di Negara ini adalah madzhab Syafii. Dan makalah yang akan kami bahas yaitu mengenai madzhab syafii.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini, diantaranya:
1.    Bagaimana sejarah singkat (Biografi) Imam Syafi’i?
2.    Apa saja sumber-sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i?
3.    Bagaimana pemikiran Imam Syafi’i dalam Fiqih?
C.    Tujuan
            Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Untuk Mengetahui Sejarah singkat (Biografi) Imam Syafi’i
2.      Untuk Mengetahui sumber-sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i
3.      Untuk menganalisis pemikiran Imam Syafi’i dalam Fiqih


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Singkat (Biografi) Imam Syafi’i
Nama asli dari imam syafii adalah Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yaziz bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf. [1]
Imam Asy-Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 Hdan wafat di Mesir tahun 204 H. Ibunya keturunan Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik Imam Asy-Syafi’i.[2]
Silsilah Imam Al-Syafi’i dari ayahnya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW, pada Abdu Manaf. Oleh karena itu, beliau termasuk suku Quraisy. Ibunya dari Suku al Azdi di Yaman. Beliau dilahirkan di Ghaza, salah satu kota di Pelestina pada tahun 150 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Sehingga al-Syafi’i dibesarkan dalam keadaan yatim dan fakir.[3]
Ia hidup di mekkah dalam keadaan yatim, ia telah hafal al-Qur’an dalam usia tujuh tahun, ia belajar pada Muslim bin Khalid Az Zanji, Mufti Mekkah. Kemudian belajar pada Imam Malik di Madinah, lalu ia mengahafal  Al Muwatta’ dalam tempo sembilan malam. Setelah ia menamatkan pelajarannya di Madinah, ia pergi ke Yaman, disana ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada tahun 184 ia dituduh berfaham Syiah, lalu ia dibawa ke Iraq bersama beberapa orang Syiah. Setelah ia dapat membela dirinya, maka ia dibebaskan dari tuduhan itu, lalu ia memanfaatkan kesempatan selama ia tinggal di baghdad untuk munadzarah (bertukar fikiran) dengan Muhammad bin Hasan sahabat Imam Abu Hanifah. Kitab-kitab tulisan Imam Syafi’i penuh dengan hasil  munadzarah ini. Ia kembali ke Hijaz bertemu dengan beberapa orang ulama di mekkah.[4]
Muhammad bin Hasan Asyaibani pernah belajar kepada Imam Malik selama 3 tahun. Dari Muhammad bin Hasan  Asyaibani beliau mendapat pelajaran fiqh Imam Abu Hanifah selama dua tahun. Kemudian kembali lagi ke Mekkah. Pada kesempatan musim haji beliau bertemu dengan ulama-ulama yang pergi ke Mekkah naik Haji dari seluruh dunia islam. Dengan demikian fiqh Imam Syafi’i menyebar diseluruh wilayah islam.
Beliau bermukim di Mekkah selama tujuh tahun. Kemudia pada tahun 195 H, kembali lagi Baghdad dan sempat berziarah ke kuburan Abu Hanifah ketika itu umurnya 45 tahun. Di Baghdad beliau memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang sangat terkenal adalah Ahmad Ibn Hanbal yang sebelumnya pernah bertemu imam al –Syafi’i di Mekkah. Ahamad bin Hanbal sangat mengagumi kecerdasan dan kekuatan dan ingat Imam al-Syafi’i serta kesederhanaan dan keikhlasannya dalam bersikap.[5]
Pada tahun 195 H, ia berkunjung lagi di Baghdad untuk kedua kalinya, namun Khalifah Harunur Rasyid telat wafat, demikian juga Imam Muhammad bin Al Hasan telah wafat, demikan juga Imam Muhammad bin Al Hasan telah wafat pula. Ia tinggal di Baghdad selam dua tahun, dan selama itulah ia menulis kitabnya yang bernama:
“Al hujjah” yang isinya dikenal dengan :Al Mazhabul Qadim”. Pada waktu ini pula ia bertemu dengan Ahmad bin Hanbal. Sahabat Abu Hanifah yang terbesar pada waktu itu ialah: Al Hasan bin Ziad Al Lu’lui, tetapi Syafi’i tidak melakukan munadzarah dengannya, sebagaimana halnya dengan Muhammad bin Al Hasan. Ia kembali ke Mekkah setelah selesai menulis bukunya tersebut, dan mengajarkannya kepada ulama Baghdad. Pada tahun 198 H ia berkunjung lagi untuk ketiga kalinya ke Baghdad, dan tinggal disana selama satu bulan. Kemudian ia berkunjung ke Mesir pada tahun 200 H. [6]
Setelah dirasa cukup, beliau kemudian pindah ke Mesir dengan tujuan untuk belajar kepada Imam al-Laits. Sayangnya, al-Laits sudah wafat ketika as-Syafi’i belum sampai ke Mesir. Meski demikian, beliau tetap mendalami mazhab laitsi lewat para muridnya. Beliau tinggal di Mesir sampai wafatnya pada tahun 820 M.[7]
Di Mesir inilah ia menulis kitabnya yang baru, yang berisi dengan pendapatnya yang baru, dikenal dengan “Al Mazhabul Jadid” ia wafat pada tahun 204 H.[8]
Dari riwayat hidupnya tampak juga bahwa Imam al-Syafi’i adalah seorang ulama’ besar yang mampu mendalami serta menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan metode Imam Abu Hanifah, sehinnga menemukan metode ijtihadnya sendiri yang mandiri. Beliau sangat berhati-hati dala berfatwa, sehingga dalam fatwanya itu ada keseimbangan antara rasio dan rasa.
Bagi Imam al-Syafi’i ibadah itu harus membawa kepuasan dan kemenangan dalam hati. Untuk itu diperlukan kehati-hatian. Oleh karena itu konsep ikhtiyat (prinsip kehatian-hatian) mewarnai pemikiran Imam al-Syafi’i.
Dari riwayat hidupnya tampak juga bahwa Imam al-Syafi’i menghindari perselisihan dengan pemegang kekuasaan pada masa itu.hal ini tidak berarti bahwa Imam al-Syafi’i menghindari perselisihan dengan pemegang kekuasaan pada masa itu. Hal ini tidak berarti bahwa Imam al-Syafi’i tidak meenentang perbuatan-perbuatan maksiat. Ini dibuktikan misalnya beliau pernah menolak tawaran khalifah untuk menjadi Qadi. Diantara kitab-kitab yang beliau karang adalah[9]:
1.      Kitab Al-Risalah. Yang merupakan kitab ushul fiqh yang pertama kali dikarang dan karenanya imam al-Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu Ushul fiqh. Didalamnya diterangkan tentang  pokok-pokok pikiran Imam al-Syafi’i dalam menetapkan hukum. Imam syafi’i sendiri lebih senang menyebut al Risalah dengan “buku kami” atau “bukuku”, yang menunjukkan arti penting kitab al Risalah bagi dirinya.
2.      Kitab Al-Umm. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan poko-pokok pikiran beliau taerdapat dalam al-Risalah.
Ulama-ulama besar yang bermazhab Imam al-Syafi’i diantaranya adalah: Ar-Robi-Murodi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, al-Mujani, Abdullah al-Jjuwaeni, al-Ghozali, Ar-Razi, Abu Isak Asyirozi, Ijudin binAbdi as-Salam ,Taqiyudin Asubki, Al-Mawardi, Taqiyuddin bin Daqiqi iid, anNawawi, dan masih banyak yang lainnya. Salah seorang muridnya yang pandai adalah Ahmad Ibn Hanbal.
Adapun murid-muridnya yang meriwayatkan kitabnya yang lama “Al Hujjah” ada empat orang fuqaha di Iraq yaitu: Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Az Za’farani, dan Al Karabisi. Sedangkan yang meriwayatkan mazhabnya yang baru dalam kitabnya “ Al Umm” pada bab fiqh, seluruhnya ada empat orang juga, mereka semuanya orang-orang mesir yaitu: Ismail bin Yahya Al Muzani, Yusuf binYahya Al Buwaithi, Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Miradi, dan Harmalah bin Yahya An Najibi.[10]
B.     Sumber-Sumber Hukum yang Dipakai Imam Syafi’i
            Sumber-sumber hukum atau dasar-dasar hukum yang diapakai oleh imam syafii dalam menetapkan hukum fiqih adalah sebagi berikut[11]:
1.      Nash-nash, yaitu Alquran dan Sunnah yang merupan sumber utama bagi fiqh islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi mereka tidak pernah bertentangan dengan Al-quran atau sunnah.
Keduanya merupakan sumber bagi segala pendapat, baik dengan nash atau melalui penafsirannya. Demikian pula Ijma’, pasti bersandar kepada keduanya dan tidak mungkin keluar darinya, dan setiap ilmu harus diambil dari yang lebih tinggi, dan keduanya adalah yang tertinggi. Perlu juga kami tegaskan bahwa penyatuan antara Alquran dan sunnah padahal keduanya bukan satu martabat, bukan berarti bahwa sunnah dengan Al-quran dari segala aspek. Beliau hanya menilai bahwa Al-quran merupakan dasar agama , tiang, dan hujja-nya. Sunnah adalah cabang dan Al-quran adalah dasarnya. Oleh karena itu, darinya ia mengambil kekuatan sehingga disamakan kedudukan nya dalam meng-istinbat hukum, membantu Al-quran dalam menjelaskan makna dan syari’at yang terkandung didalamnya yang dapat membawa kemaslahatan bagi umat dalam kehidupan mereka.[12]
Dalam menjelaskan masalah furu’iyah, Imam Asy-Syafi’i meletakkan ilmu tentang sunnah, sama dengan ilmu tentangAl-quran agar istinbat hukum tidak meleset. Akan tetapi, beliau tidak meletakkan setiap hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW sama dengan A-quran yang mutawatir, karena hadis ahad tidak sama kedudukannya dengan hadis mutawatir, apalagi jika disamakan dengan ayat al-qur;an. Imam Asy-Syafi’i mengingatkan tentang hal tersebut ketika membatasi sunnah yang sama kedudukannya dengan al-quran adalah sunnah yang sama kedudukannya dengan al-qur’an adalah sunnah yang shahih. Inilah yang ia maksudkan dengan ucapannya, “Al-Kitab dan Sunnah jika kamu mau”.
Al-imam syafii juga dikenal sebagai pembela sunnah rasulullh saw dengan cara menghancurkan segala upaya musuh dengan menyebarkan isu bahwa tidak layak menerima sesuatu yang tidak satu makna dengan al-quran atau berupa hadist mutawatir. Orang-orang yang menolak/tidak mau menerima hadis kecuali yang mutawatir saja akan berdampak pda penolakan pada hadist ahad.[13]
Imam Asy-Syafi’i sangat longgar dalam menyeleksi sunnah, tidak memberikan syarat seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah dan Malik, dan yang ia syaratkan hanya hadis yang shahih, sanadnya bersambung dan karena hadis mursal tidak bersambung sanadnya, maka beliau tidak mau mengambil hadis dari hadis-hadis mursal Sa’id dan Musayyib.
2.      Ijma’ merupakan salah satu dasar yang dijadikan sebagai hujjah Meskipun Imam as-Syafi’i memiliki keragua-raguan yang serius mengenai kemumgkinan ujma’ dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa kasusu dimana ijma tidak terletakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok hukum islam urutan ketiga.[14]
      Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijma’ pertama yang digunakan oleh Imam Asy-Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, beliau menetepkan bahwa ijma’ dilahirkan dalam berdalil setelah Al-quran dan sunnah. Apabila masalah yang sudah disepakati bertentangan dengan Al-quran dan sunnah maka tidak ada hujjah padanya.[15]
3.      Qaul para sahabat. Beliau membagi pendapat para sahabat kepada tiga bagian: Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijma’ mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijma’ seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka Imam Asy-Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Asy-Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Al-quran , sunnah, atau ijma’, atau menguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.[16]
4.      Qiyas. Beliau menilainya sebagai sebuah bentuk ijtihad karena seperti yang sudah kami jelaskan ketika berbicara tentang dasar-dasar istinbat Imam Asy-Syafi’i, ia sama dengan menggali makna nash atau menguatkan salah satu pendapat untuk mencapai pendapat yang lebih mudah dilaksanakan. Atas dasar ini beliau menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syari’at islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash pasti. Dan beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid. Itulah beberapa dasar yang dijalankan oleh Imam Asy-Syafi’i dengan menggali hukum, seperti yang disebutkannya dalam kitab Al-Umm. Dan kita melihat beliau tidak menyebutkan adat dan istishab, namun aplikasinya dalam mazhab syafi’i semuanya ada dan bukti nyata dari semua itu adalah lahirnya mazhab baru ketika beliau berada di Mesir dan meninggalkan sebagian pendapatnya di Irak yang kesemuanya bermuara pada al’urf dan istishab. Imam Asy-Syafi’i menolak istihsan dan mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan istihsan sungguh ia telah membuat syariat sendiri”. Oleh karena itu, tidak ada dalil al mashalih al mursalah dalam mazhabnya karena ia sudah merasa cukup dengan apa yang dinamakannya munasabah (kesesuaian) yang merupakan salah satu cara dalam menetapkan illat dalam qiyas.
Ia tidak mengambil qaulus shabah dan istihsan[17] ia menolak penggunaan maslahatul mursalah, dan amalualil Madinah. Ia populer sebagai “Pembela Sunnah”.[18]
5.      Istidzlal
Bila imam syafii tidak mendapatkan keputusan hukum dari alqur’an,sunnah, ijma dan qiyas, maka barulah ia mengambil dengan jalan istidzlal, mencari alasan, bersandarkan kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar’u man qoblana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia. Juga ia tidak mau mengambil hukum dengn cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama dari pengikut imam abu hanifah di bagdad dan lainnya.[19]
C.    Pemikiran Imam Syafi’i dalam Fiqih
1.   Rujukan  Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, rujukan pokok adalah al-Quran dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur da­lam al-Quran dan Sunnah, hukum persoalan tersebut ditentukan de­ngan qiyās. Sunnah digunakan apabila sanadnya shahih. Ijma' lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadith ada­lah makna zhahir; apabila suatu lafad ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zhahir lebih diutamakan. Hadith munqathi' di­tolak kecuali jalur Ibn al-Musayyab. al-asl tidak boleh diqiyāskan kepada al-asl. Pertanyaan “mengapa?” dan “bagaimana?” tidak boleh dipertanyakan kepada al-Quran dan Sunnah; pertanyaan tersebut dipertanya­kan hanya kepada al far'. Qiyās dapat menjadi hujjah apabila peng­kiyasannya benar.[20]
2.    Qaul Qadīm dan Qaul Jadīd
Tahap terpenting dalam karier keilmuan Imam Syafi’i adalah ketika ia berkunjung ke Irak untuk ketiga kalinya. Saat itu Khalifah Harun al-Rashid telah meninggal dan digantikan oleh al-Ma'mun. Dan gurunya Muhammad bin al-Hasan juga telah wafat. Lawatan ini tidak berlangsung lama, tetapi momentum yang terpenting adalah is memprokla­masikan kebebasannya dari fatwa-fatwa gurunya. Artinya ia tampil dengan ijtihadnya sendiri dalam fatwa-fatwanya. Hal ini terjadi pada tahun 198 H. Sejak itu ia dikenal dengan mujtahid mutlaq. Saat-saat inilah ia menyusun sebagai kitab pertama dalam bidang ushul al-fiqh. Pendapat-pendapat yang diutarakannya sampai dengan periode ini dinamakan sebagai al-qaul al-qadīm (pendapat lama, yang diperlawankan dengan pendapat­-pendapatnya sesudah itu muncul yang dinamakan al ­qaul al-jadīd, pendapat baru). Buku tersebut disusun setelah bermukim di Mesir.[21]
Ahmad Amin berkomentar bahwa ulama pada umumnya membagi pendapat Imam As-Syafi’i menjadi dua: qaul qadīm dan qaul jadīd. Qaul qadīm adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Sya'ban Muhammad Isma'il mengatakan bahwa pada tahun 195 H., Imam As-Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, Imam As-Syafi’i banyak belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ray. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam As-Syafi’i dan ber­hasil dipengaruhi olehnya adalah: (a) Ahmad Ibn Hanbal; (b) al-Kara­bisi; (c) al-Za'farani; dan (d) Abu Tsaur. Setelah tinggal di Irak, As-Syafi’i melakukan perjalanan ke dan kemudian tinggal di Mesir. Di Mesir, is bertemu dengan—dan berguru kepada—ulama Mesir yang pada umumnya adalah sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqh ulama Madinah atau ahl al-hadīth. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam As-Syafi’i mengubah beberapa penda­patnya yang kemudian disebut qaul jadīd. Qaul qadīm adalah penda­pat Imam As-Syafi’i yang bercorak ra’y; sedangkan qaul jadīd adalah pendapatnya yang bercorak hadith.[22]
Hanya saja yang perlu dicatat di sini adalah ahl al­ra'y bukan berarti menolak sama sekali pemahaman tekstual ataupun otoritas teks. Demikian pula, ahl al-hadīth bukan berarti menolak sama sekali peranan rasio dalam memahami teks agama. Pemberian nama ini ber­kenaan dengan porsi penggunaan kedua kecenderungan tersebut tersebut pada masing-masing aliran.[23]
As-Syafi’i melihat kelebihan pada masing-masing aliran tersebut sebagai kekuatan yang bermanfaat bagi pemikiran Hukum Islam. Oleh karenanya, aliran-aliran tersebut harus dikawinkan. Sehingga fiqh al- Shafi’i di­kenal berada di antara fiqh ahl al-hadīth dan fiqh ahl al-ra’y.[24]
Tentang persoalan al-qaul al-qadīm dan al-qaul al jadīd, sebagian ulama masih berpegang dan berfatwa pada pendapat-pendapat tertentu dari al-qaul al qadīm yang mereka anggap sahih. Mayoritas otoritas Shafi’iyah berpedoman bahwa, jika suatu pendapat dari al-qaul al-qadīm didukung oleh hadith yang sahih, sedangkan pada al-qaul al jadīd hanya didukung oleh hasil qiyās (pada hal yang sama), maka al-qaul al qadīmlah yang harus dipakai. Hal ini sesuai dengan prinsip As-Syafi’i “kalau suatu hadith telah sahih, maka adalah mazhabku". Apabila suatu pendapat al-qaul al-qadīm tidak didukung oleh hadith sebagaimana tersebut di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat itu boleh dipilih melalui otoritas mujtahid fi al-mazhab. Pendapat ini muncul berdasarkan alasan bahwa jika seorang imam yang mempunyai pendapat baru, dimana pendapat baru tersebut berbeda dengan pendapat lama, maka ia tidak boleh dianggap telah mencabut pendapat yang lama. Tetapi, imam tersebut harus dianggap bahwa pada masa­lah yang sama ia mempunyai pendapat yang berbeda. Sementara itu, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa mujtahid fi al-mazhab tidak boleh memilih al qadīm dengan alasan bahwa itu adalah mazhab As-Syafi’i, sebab al-qadīm dan al jadīd berlaku sebagai dua diktum yang bertentangan yang tidak mungkin dikom­promikan, sehingga pendapat yang harus dipakai adalah pendapat yang terbaru. Hal ini sesuai dengan maklumat yang dikeluarkan oleh As-Syafi’i sendiri ketika ia men­cabut al-qadīm.[25]
Terlepas dari pernyataan As-Syafi’i di atas, sebenarnya sebagian ulama Syafi’iyah melakukan tarjih ulang dan ternyata ada beberapa masalah yang dinilai lebih kuat pendapat lama daripada pendapat baru. Bila pendapat lama dinilai lebih kuat sandaran hadithnya, maka pendapat lama yang dipakai, bukannya pendapat baru. Satu contoh dari pentarjihan yang demikian adalah pendapat tentang pengakhiran waktu shalat isya’. Dalam qaul qadīm, al-Syafi’í berfatwa bahwa sholat isya’ sebaiknya dilakukan di awal waktu. Sedangkan dalam qaul qadīm, beliau berfatwa bahwa shalat isya’ di akhir waktu lebih utama. [26]
Berikut merupakan contoh tabel pengaplikasian qaul qadīm dan qaul jadid dalam beberapa konteks hal[27]:
No.
Topik
Qaul Qadīm
Qaul Jadid
1.
Tertib dalam wudu
Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah
Orang yang wudunya tidak tertib meskipun karena lupa adalah tidak sah
2
Berturut-turut dalam wudu
Berturut-turut dalam membasuh anggota badan yang wajib dibasuh dalam berwudu adalah wajib
Berturut-turut dalam membasuh anggota badan yang wajib dibasuh dalam berwudu adalah sunnah bukan wajib
3.
Menyentuh dubur
Menyentuh dubur tidak membatalkan wudu
Menyentuh dubur membatalkan wudu
4.
Tangan yang wajib diusap dalam tayammum
Tangan yang wajib diusap hanyalah dua telapak tangan.
Tangan yang wajib diusap dua telapak tangan serta dua sikunya.
5.
Tayammum dengan pasir
Seseorang dibolehkan tayammum dengan pasir
Seseorang tidak dibolehkan tayammum dengan pasir
6.
Mengulangi sholat karena menemukan air
Orang yang sholat dengan tayammum karena tidak mendapatkan air, tidak perlu mengulangi sholatnya, meskipun setelah sholat ia mendapatkan air
Orang yang sholat dengan tayammum karena tidak mendapatkan air, diwajibkan mengulangi sholatnya, apabila yang bersangkutan mendapatkan air segera setelah selesai sholat
7.
Waktu mengusap sepatu
Tidak ada batasnya. Mengusap sepatu berakhir hingga sepatu itu dibuka atau hadast yang mewajibkan membukanya, seperti kewajiban mandi junub
Waktunya dibatasi. Bagi musafir, waktu mash al huffain adalah 3 hari 3 malam, sedangkan yang mukim adalah sehari semalam
8.
Tertidur ketika rukuk, sujud atau berdiri sholat
Seseorang yang tertidur ketika rukuk, sujud atau berdiri sholat tidak batal wudunya
Seseorang yang tertidur ketika rukuk, sujud atau berdiri sholat  batal wudunya
9.
Sholat dengan pakaian yang terkena najis karena lupa atau tidak mengetahuinya.
Seseorang yang Sholat dengan pakaian yang terkena najis karena lupa atau tidak mengetahuinya adalah sah; ia tidak perlu mengulang sholatnya
Seseorang yang Sholat dengan pakaian yang terkena najis karena lupa atau tidak mengetahuinya adalah batal dan wajib
 mengulang sholatnya
10.
Imam batal sholat
Apabila imam batal sholatnya karena hadast, ma’mum meneruskan sholatnya masing-masing secara perorangan (munfarid)
Apabila imam batal sholatnya karena hadast, ma’mum meneruskan sholatnya dan salah seorang dari mereka menggantikan posisi imam yang sholatnya batal itu.
11.
Keutamaan sholat isya
Sholat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera (ta’jil)
Sholat isya lebih utama dengan diakhirkan (ta’khir)
12.
Mengucapkan “Amin” bagi makmum
Dalam sholat yang bacaannya “jahar”, makmum disunatkan mengucapkan ‘Amin” setelah imam membaca surah al-Fatihah secara “jahar” pula
Dalam sholat yang bacaannya “jahar”, makmum disunatkan mengucapkan ‘Amin” setelah imam membaca surah al-Fatihah secara tidak “jahar”
13.
Salah kedua diakhir sholat
Salam kedua ketika sholat berakhir tidak disyariatkan. Oleh karena itu ia tidak disunahkan
Salam kedua ketika sholat berakhir tidak disyariatkan. Oleh karena itu ia sunnah diucapkan.
14.
Waktu pengeluaran zakat fitrah
Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada hari idul fitri setelah terbit fajar (waktu subuh tiba)
Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada hari idul fitri setelah matahari terbenam (waktu maghrib tiba)
15.
Meninggal sebelum menunaikan puasa wajib yang tertinggal (qodlo’)
Wali memiliki hak pilih untuk melakukan puasa atas nama yang meninggal sebelum menunaikan kewajiban puasanya yang tertinggal, atau mengeluarkan harta sebesar satu mud setiap hari puasa yang di qodlo nya
Wali diwajibkan untuk mngetluarkan fidyah sebesar satu mud untuk menggantikan puasa yang ditinggal oleh seseorang berda dalam pengampunannya; puasa tersebut tidak sah diganti oleh puasa wali
16.
Sanksi jimak dengan isteri yang sedang haid
Seseorang yang berjimak dengan isterinya yang sedang haid diwajibkan kafarat dengan didenda satu dinar atau setengan dinar
Seseorang yang berjimak dengan isterinya yang sedang haid tidak diwajibkan kafarat, termasuk yang tercela dan wajib bertaubat kepada Allah

17.
Meninggalkan bacaan fatihah dalam sholat karena lupa
Seseorang yang sholat dan tidak membaca surat karena lupa, sholatnya adalah sah
Seseorang yang sholat dan tidak membaca surat karena kelupaan, sholatnya tidak sah. Jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya sebelum berdiri yang kedua , ia kembali berdiri dan membaca alfatihah ketika berdiri tersebut. Apabila yang bersangkutan baru teringat pada rokaat kedua, maka rokaat tersebut dianggap rokaat pertama. Apabila yang bersangkutan teringat setelah salam, maka sholatnya wajib diulangi.
18.
Hukum umroh
Ibadah umroh adalah sunnah
Ibadah umroh wajib atau fardlu
19.
Menjual benda milik orang lain.
Apabila seseorang menjual barang milik orang lain maka hukumnya bergantung pada sikap pemilik; apabila pemilik benda mengijinkan (merelakannya), maka penjualan tersebut dibolehkan dan sah. Sedangkan apabila sebaliknya pemilik benda tidak merelakannya maka jual beli tersebut tidak boleh dan batal hukumnya.
Apabila seseorang menjual barang milik orang lain hukumnya batal meskipun pemilik benda mengijinkan atau merelakannya.
20.
Penjualan kulit bangkai yang disamak
Penjualan kulit bangkai yang sudah disamak tidak boleh dijual
Penjualan kulit bangkai yang sudah disamak boleh dijual.






BAB III
                                                         PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam makalah ini ada beberapa hal yang penulis simpulkan antara lain:
1.      Nama asli dari imam syafii adalah Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yaziz bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf. Imam Asy-Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 Hdan wafat di Mesir tahun 204 H. Silsilah Imam Al-Syafi’i dari ayahnya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW, pada Abdu Manaf. Oleh karena itu, beliau termasuk suku Quraisy. Diantara kitab-kitab yang beliau karang adalah:
i.                    Kitab Al-Umm
ii.                  Kitab Al-Risalah
2.      Sumber-Sumber Hukum yang Dipakai Imam Syafi’i:
i.                    Nash-nash, yaitu Alquran dan Sunnah yang merupan sumber utama bagi fiqh islam
ii.                  Ijma’
iii.                Pendapat para sahabat
iv.                Qiyas
v.                  Istidzlal
3.      Menurut Imam Syafi’i, rujukan pokok adalah al-Quran dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur da­lam al-Quran dan Sunnah, hukum persoalan tersebut ditentukan de­ngan qiyās. Ulama pada umumnya membagi pendapat Imam As-Syafi’i menjadi dua: qaul qadīm dan qaul jadīd. Qaul qadīm adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.






[1] Prof.H.A. Dzajuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta: Kencana, Jakarta, 2013) hlm.129  dan Ngainun Naim , Sejarah Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta:TERAS,2009).hlm89 dan Drs.H.Muhammadiyah Djafar,Pengantar Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam Mulia,1993).hlm.91 dan Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm.91
[2]  Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm. 185
[3] Prof.H.A. Dzajuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta: Kencana, Jakarta, 2013) hlm. 129
[4] Drs.H.Muhammadiyah Djafar,Pengantar Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam Mulia,1993).hlm.91
[5]Prof.H.A. Dzajuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta: Kencana, Jakarta, 2013) hlm.130
[6] Dj Drs.H.Muhammadiyah Djafar,Pengantar Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam Mulia,1993).hlm.92
[7] Ngainun Naim , Sejarah Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta:TERAS,2009).hlm.89-90
[8] Ibid. hlm.92
[9] Prof.H.A. Dzajuli, Ilmu Fiqh,(Jakarta: Kencana, Jakarta, 2013) hlm.131
[10] Drs.H.Muhammadiyah Djafar,Pengantar Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam Mulia,1993).hlm.93
[11]  Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm. 189-191             
[12] Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm. 189

[13] H.Sudirman,S.Ag,M.Ag, Fiqh Studies sesuai dengan silabus proci pendidikan Ilmu pengetahuan sosial. (Malang: Dream Litera Buana: 2014).hlm.157
[14] Ngainun Naim , Sejarah Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta:TERAS,2009). 91
[15] Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm. 190
[16] Dr. Rasyad Hasan Khalil Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta:AMZAH,1993).hlm 190
[17] Ngainun Naim , Sejarah Pemikiran Hukum Islam,(Yogyakarta:TERAS,2009).halaman 91 disebutkan bahwa imam syafi’i menolak prinsip istihsan yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah dan istishlah Imam Malik. Dalama pandangannya, istihsan merupakan bentuk bid’ah karena lebih menempatkan penalaran manusi terhadap wilayahnya yang sesungguhnya telah tersedia nashnya. Meskipun demikian, ketika menghadapi persoalan-persoalan serupa, para pengikut Syafi’i diwajibkan menggunakan sebuah prinsip yang mirip dengan istihsan dan istihlah yang dinamakannya istishab. Istishab secara literal berarti mrncari suatu keterkaitan , tetapi secara hukum, istishab merujuk kepada proses perumusan hukum-hukum fiqh dengan mengaitkan serangkaian keadaan-keadaan berikutnya dengan keadaan-keadaan sebelumnya. Istishab didasarkan atas asumsi bahwa hukum fiqh bisa di aplikasikan pada kondisi tertentu yang tetap sah sepanjang persyaratannya tidah berubah.
[18] Drs.H.Muhammadiyah Djafar,Pengantar Ilmu Fiqh(Jakarta:Kalam Mulia,1993).hlm. 93
[19] Moenawir Chalil, Biografi empat serangkai imam madzhab,(Jakarta: Bulan Bintang, 1995) hlm.245
[20] Jaih Mubarok,  Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002).hlm. 33
[21] Abdul Mun’in Saleh,, Mazhab As-Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hlm. 22
[22] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002).hlm. 9
[23] Abdul Mun’in Saleh,  Mazhab As-Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001). hlm. 14
[24]Ibid., 15
[25] Ibid, 22
[26] Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979.
[27]Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan hukum islam (Bandung: PT.Remaja Rosdakrya, 2000).hlm.108-112
DAFTAR PUSTAKA
               
Djazuli, Pro. H.A, 2013,Ilmu Fiqh,Jakarta:KENCANA PRENADA MEDIA GROUP
Hasan Khalil,Dr. Rasyad,2009,Sejarah Legislasi Hukum Islam,Jakarta:AMZAH
Naim,Ngainun,2009,Sejarah Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:TERAS
Djafar, Drs.H.Muhammadiyah,1993,Pengantar Ilmu Fiqh,Jakarta:Kalam Mulia
H.Sudirman,S.Ag,M.Ag,2014,Fiqh Studies sesuai dengan silabus proci pendidikan Ilmu pengetahuan sosial,Malang: Dream Litera Buana
Mubarok,Jaih,2002, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Saleh ,Abdul Mun’in,2001,Mazhab As-Syafi’i Kajian Konsep al-Maslahah,Yogyakarta: Ittaqa Press
Chalil , Moenawir,1995, Biografi empat serangkai imam madzhab,Jakarta: Bulan Bintang